WHO PANDEMI TREATY; Merdeka atau Mati

    WHO PANDEMI TREATY; Merdeka atau Mati
    Indah Rusmiati, SH., SIP., MIP Anggota DPRD Banten

    Oleh Indah Rusmiati, SH., SIP., MIP
    Anggota DPRD Banten

    WHO PANDEMI TREATY, upaya melindungi dunia dari pandemi atau sebenarnya strategi terselubung asing untuk diam-diam mengakhiri kedaulatan dan kemerdekaan negara kita tanpa perang, hanya dengan isu kesehatan. 

    MENGENAI WHO PANDEMI TREATY : 

    WHO saat ini sedang mempersiapkan perjanjian internasional mengenai pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi. 

    Dalam bulan Mei 2024, periode Perjanjian Pandemi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan ditetapkan. 

    Proses ini akan menimbulkan banyak efek negatif bila berlangsung di balik pintu tertutup, tidak ada laporan terbuka pada masyarakat, tidak dibahas di surat kabar resmi, di parlemen kita, atau di universitas, atau masyarakat. 

    Mengapa demikian? 

    Pandemic Treaty akan memberikan otoritas yang mengikat secara hukum kepada WHO atas seluruh pemerintahan; untuk menyatakan pandemi; untuk mengunci negara; membatasi pergerakan masyarakat; untuk memantau dan mengubah perilaku masyarakat; menimbulkan keruntuhan ekonomi, hutang dan kelaparan pada masyarakat; melarang obat-obatan tradisional (obat tradisional menjadi illegal); melarang akses terhadap metode pertanian mandiri dan regeneratif – misalnya, mengeringkan sawah karena dianggap berpotensi menjadi tempat berkembang biaknya penyakit dan vektor; untuk mengalokasikan uang publik untuk penelitian Gain of Function; penelitian vaksin farmasi; pabrik nyamuk. 

    Perjanjian ini juga akan memberikan WHO hak eksklusif untuk menyetujui obat yang dipasarkan; mewajibkan pemerintah membeli pasokan APD dan vaksin; 

    Perjanjian ini juga akan memberikan WHO hak eksklusif untuk menetapkan mandat dan hukuman bagi negara mana pun, atau individu laki-laki atau perempuan yang bertindak dengan otonomi apa pun; kebebasan untuk hidup selaras dengan Alam, dan praktik kesehatan, agama, budaya, kebijaksanaan, kebugaran, dan rutinitas kesejahteraan seseorang dapat diambil berdasarkan apa yang mereka lakukan (atas dasar apa pun, kapan pun WHO mengidentifikasi risiko kesehatan atau manfaat kesehatan dan memutuskan untuk menerapkannya). 

    Keadilan dan infrastruktur yang selama ini diandalkan oleh negara-negara akan dibongkar, terlepas dari apakah infrastruktur tersebut lebih cocok dan berhasil dalam meningkatkan kesehatan bangsa. 

    Kita semua wajib mengingatkan pemerintah, baik yang sekarang maupun para calon pemimpin kita di masa depan, apakah WHO PANDEMI TREATY ini dibungkus sebagai upaya melindungi dunia dari pandemi atau sebenarnya strategi terselubung asing untuk diam-diam mengakhiri kedaulatan dan kemerdekaan negara kita tanpa perang, hanya dengan isu kesehatan. 

    Jangan sampai... 

    Tahu-tahu... 

    Tahun 2024 ini, tiba-tiba tanpa masyarakat sadari, negeri kita sudah kehilangan kedaulatan kita. 

    Dengan alasan mengatasi wabah pandemi atau KLB, tiba-tiba WHO bisa menjadi tuan di negeri kita. Pandemic Treaty akan memberikan otoritas yang mengikat secara hukum kepada WHO atas pemerintahan yang membuat kita tak bisa lagi menolak saat  WHO menyatakan pandemi, mengunci negara (lock down), membatasi pergerakan masyarakat tidak peduli akibatnya menimbulkan keruntuhan ekonomi, hutang dan kelaparan pada masyarakat seperti pandemi lalu. WHO bahkan tiba-tiba punya otoritas untuk memantau dan mengubah perilaku masyarakat, bahkan Pandemic Treaty memberi WHO hak eksklusif untuk menetapkan mandat dan hukuman bagi negara mana pun, atau individu laki-laki atau perempuan yang bertindak dengan otonomi apa pun; kebebasan untuk hidup selaras dengan Alam, dan praktik kesehatan, bahkan agama, maupun budaya. UU kesehatan baru tahun 2023 yang isinya menguatkan hal di atas sehingga menimbulkan banyak keresahan masyarakat, bahkan akan menjadi alat sempurna WHO untuk menjadi tuan di negeri kita dengan dalih KLB begitu Pandemi treaty ini resmi dijalankan. 

    Bila ini terjadi, WHO pandemi treaty dengan UU kesehatan baru tahun 2023 justru jadi strategi terselubung asing yang memuluskan WHO sebagai tangan asing untuk menguasai negeri kita dengan biaya super murah, karena tanpa perang, cukup hanya dengan isu kesehatan.

    Seperti kata pepatah, maju kena mundurpun kena. Kita sudah menyaksikan bagaimana pandemi yang lalu telah menguntungkan asing dari semua segi. Pandemi lalu kita terpaksa berhutang pada asing sehingga asing bisa untung dari bunganya. Asing juga untung dari obat, alat PCR, dan kebutuhan lainnya yang kita beli dari asing. Pandemi lalu sudah berlalu  tapi dampaknya masih berlangsung bagi ekonomi rakyat. Kita semua juga sekarang sudah menyaksikan bagaimana saat ini akhirnya rakyat kita yang wajib membayar semua biaya pandemi lalu (untuk beli vaksin, dll) dengan pajak yang semakin tinggi, agar pemerintah saat ini dan di masa depan bisa membayar beban hutang luar negeri yang sekarang sudah menembus angka yang luar biasa yang tidak pernah terjadi selama negeri ini berdiri. 

    Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengatakan "Total utang publik sekarang mencapai Rp 8.504 triliun. Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan mewariskan lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden berikutnya, ” 

    Mengutip buku Confession of Economic Hit Man karangan John Perkins, banyak negara yang kolaps akibat gegabah dalam mengambil utang. 

    Namun hingga Mei 2024, negara-negara berdaulat masih memiliki pilihan untuk menarik diri dari inklusi dan persetujuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 

    Jangan menandatangani Perjanjian Pandemi WHO apa pun kecuali disetujui melalui referendum publik

    Kami ingin Pemerintah berkomitmen untuk tidak menandatangani perjanjian internasional apa pun mengenai pencegahan dan kesiapsiagaan pandemi yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kecuali perjanjian ini disetujui melalui referendum publik. 

    Kami yakin masyarakat harus dibekali dengan dampak penuh dari apa dan bagaimana perjanjian pandemi apa pun dapat berdampak pada mereka, dan diberikan hak untuk memberikan suara publik mengenai apakah negeri kita harus menandatangani perjanjian tersebut, sebelum Pemerintah menandatangani perjanjian ini. 

    “Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu : “Innallahu la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim”. ” Tuhan tidak mengubah nasibnya sesuatu bangsa sebelum bangsa itu mengubah nasibnya” 

    Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang. 

    Jangan sampai kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri. 

    Kita berhutang pada para pahlawan kita yang sudah memberikan kita hadiah terindah. Kemerdekaan negeri kita. Jangan sampai kita kehilangan! 

    Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya 

    Merdeka atau mati! 

    who pandemi treaty merdeka atau mati indah rusmiati dprd banten
    Sopiyan Hadi

    Sopiyan Hadi

    Artikel Sebelumnya

    Razia Knalpot Brong di Kota Tangerang, 24...

    Artikel Berikutnya

    Berbagai Penghargaan di Raih PT. Buana Citra...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Berikut Pentingnya Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Dalam Mendorong Investasi di Banten
    Hendri Kampai: Indonesia Hanya Butuh Pemimpin Jujur yang Berani
    Bakamla RI Berikan Pertolongan Medis ABK KM Lintas Samudra 2 di Perairan Natuna
    Cegah Paham Radikalisme, Polri Tekankan Pentingnya Upaya Kontra Radikal 
    Polsek Pondok Gede Hadir di Peringatan Maulid Nabi, Jaga Kondusivitas Jelang Pilkada 2024 di Pondok Gede

    Ikuti Kami